Di tingkat
“kecil-kecilan”, saya punya pengalaman menarik dengan anak saya, saat itu baru
empat setengah tahun, ketika ia hendak mengikuti lomba berpidato bahasa Inggris
yang diadakan oleh lembaga kursus tempat ia seminggu tiga kali belajar. Lomba dibuka
untuk umum dan dua minggu sebelum lomba anak saya sudah memberitahu bahwa ia
akan ikut. “Silakan,” kata saya.
Sebenarnya saya agak takut ia mengikuti lomba apa pun,
karena ia pasti ingin menang dan mendapatkan hadiah. Saya tidak tahu apa jadinya
jika ia kalah dan gagal mendapatkan hadiah. Bagaimana ia memahami kekalahannya
jika itu terjadi? Bagaimana perasaannya ketika melihat teman-temannya menerima
piala sementara ia tidak?
Apakah pengalaman kalah di usia dini baik bagi dia nantinya?
Apakah dia tidak memendam kekecewaan mendalam? Saya risau memikirkan itu semua,
sementara anak saya tidak kunjung bisa menghafal kalimat wajib yang harus ia
“pidatokan” di panggung. “Coba kau pidato di depanku, Nak,” kata saya dua hari
sebelum lomba. Ia tampak malu dan tidak mau membuka mulut. Saya membujuknya
beberapa kali agar ia mau berpidato di depan saya, tetapi tetap saja saya
gagal. Apakah ia takut saya marah karena ia tidak hafal? Saya mulai mencurigai
kemungkinan itu.
“Kau takut padaku?” tanya saya.
Ia menggeleng.
“Kupikir tak ada masalah meskipun kau takut,” kata saya. Ia
mulai agak rileks, tetapi masih belum mau mendemonstrasikan kehebatannya
berpidato. Saya mengulangi lagi bahwa tidak ada masalah kalau toh ia takut saya
marah. Ia masih belum yakin betul dengan ucapan saya.
“Kau takut karena tidak hafal?” tanya saya.
Ia mengangguk.
“Kurasa tidak ada masalah meskipun kau tidak hafal.”
Pada saat itu saya membayangkan menotoknya dengan isu “sulit
menghafal”. Ia berdiri di depan saya, tidak percaya diri, dan kemudian mulai
berpidato. Mungkin di luar dugaannya sendiri, ia ternyata bisa mengucapkan
kalimat wajib itu tanpa ada kesalahan.
Saya memberinya tepuk tangan.“Oh, ternyata kau hafal
meskipun takut kepadaku,” kata saya.
Sejak saat itu ia berpidato sepanjang hari dan makin lancar.
Melihatnya antusias, saya semakin takut kalau nantinya ia ternyata kalah dalam
lomba. Saya tidak yakin apakah ia bisa memahami kekalahannya jika itu terjadi.
Saya takut jika bahwa kekalahan itu akan membawa akibat buruk pada perkembangan
emosinya kelak.
Ketakutan tersebut membuat saya terus berpikir bagaimana mempersiapkan
dirinya menghadapi kekalahan. Terus terang, saya juga seperti kebanyakan orang
tua lainnya yang berharap anaknya menang dalam lomba. Ia tentu akan bahagia
sekali jika menang dan saya akan senang melihatnya bahagia. Tetapi saya harus
juga membuat anak saya siap menerima kekalahan dan bisa rileks dengan kemungkinan
itu.
“Kau pengen menang, Nak?” tanya saya sehari sebelum lomba.
“Ya, aku ingin menang, dapat piala,” katanya.
“Kurasa semua anak yang ikut lomba juga seperti itu,” kata
saya.
“Mereka semua ingin menang.”
“Tapi aku mau menang.”
“Kalau yang ikut banyak, tidak mungkin semuanya menang. Misalnya
yang ikut lomba sepuluh anak, sementara hanya ada juara satu, dua, dan tiga,
jadi ada tujuh anak lain yang kalah.”
“Aku mau menang.”
“Tidak ada masalah. Aku cuma bilang bahwa tidak semuanya menang.
Pasti ada yang kalah. Kalau kau kalah, itu tidak apa-apa.”
“Tapi aku ingin menang.”
“Aku tahu, tapi tidak apa-apa kalau kau kalah.”
“Tidak apa-apa kalau aku kalah?”
“Ya, tidak apa-apa. Menang tidak apa-apa. Kalah tidak
apa-apa.”
“Ya, kalah tidak apa-apa.”
Saya merasa tenteram ketika dia beberapa kali lagi
menanyakan kepada saya, “Jadi kalah tidak apa-apa ya, Pak?
Malam harinya, saya melakukan surrogate tapping (penotokan dari
jauh, menotok diri saya sendiri untuk mewakili anak saya) dengan isu “ingin menang” dan “tidak ada masalah
kalau kalah.”
Sebelum dia berangkat tidur, saya ingin memastikan lagi
dengan menanyakan kepadanya apakah dia senang ikut lomba. Dia menjawab senang
sekali. Dan saya mengingatkan sekali lagi bahwa tidak ada masalah jika ternyata
dia tidak menang. Keesokannya, dia bangun lebih pagi dari biasanya, dan
kelihatan sangat gembira. Saya masih tetap cemas melepasnya bertarung di arena
lomba. Menurut saya, ia masih terlalu kecil untuk memahami menang dan kalah. Ia
hanya menginginkan hadiah dan ada kemungkinan ia tidak mendapatkan apa yang
diinginkannya. Saya mengingatkannya lagi sebelum ia berangkat bahwa tidak
apa-apa kalah. “Tapi aku mau menang, Pak,” katanya. Dan pagi itu keinginannya
begitu kuat dan sama sekali tidak bisa dibengkokkan.
Saya melepasnya dengan perasaan cemas dan berharap bahwa ia bisa
rileks di panggung dan tetap rileks kalaupun ia kalah. Saya berpikir untuk
menotoknya sekali lagi dari jauh, tetapi urung saya lakukan. Tiba-tiba saya
berpikir bahwa ia mungkin perlu mengalami apa saja dan bahwa kecemasan saya
sungguh tidak beralasan. Siang hari,
sekitar pukul dua, telepon dari istri saya masuk dan yang bicara ternyata anak
saya.
“Aku juara, Pak,” katanya.
Saya senang mendengar suaranya. “Tidak apa-apa, Nak,” kata
saya.
Dan ia menjawab, “Ya, memang tidak apa-apa. Aku dapat
piala.”
Ketika mereka tiba di rumah, istri saya menceritakan
peristiwa yang membuat saya sedih. Ia bilang, tadi ada salah satu peserta, teman
kursus anak saya, yang diomeli ibunya sampai nangis-nangis karena lupa sama
sekali ketika berdiri di atas panggung. Bagi orang tua, anak itu mungkin memang
pantas dimarahi karena menghafal kalimat sepele saja gagal. Anda tahu, dalam
lomba itu setiap peserta hanya perlu menyampaikan kalimat: “Hi, my name is___ from____. I love studying because it’s fun.
Dua kalimat yang sepele saja, bukan? Belajar memang
menyenangkan, ikut lomba mungkin juga menyenangkan, tetapi diomeli orang tua
karena kalah bukanlah sesuatu yang fun. Anak yang diomeli ibunya itu menangis
sampai ketiduran. Saya ingin sekali menotok ibunya agar perempuan itu bisa memperlakukan
anaknya dengan cara lebih baik. Sumber: Ebook EFT – By: AS. Laksana
0 komentar:
Posting Komentar